Selasa, 28 April 2009

Kisah karpet

sebuah kisah nyata..

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian.
Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.

Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:
"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan"
Ibu itu kemudian menutup matanya.

"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?"

Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.”

“Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya

"Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR;
1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain
2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat maksiat lainnya.
3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
4. Untuk Tagihan kartu kredit yang cukup besar, karena itu artinya saya harus bekerja untuk bayar cicilan
5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat
9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup
10.
Untuk dst...

Jalan-jalan dengan keong

Tuhan memberiku sebuah tugas, yaitu membawa keong jalan-jalan. Aku tak dapat jalan terlalu cepat, keong sudah berusaha keras merangkak, Setiap kali hanya beralih sedemikian sedikit

Aku mendesak, menghardik, memarahinya, Keong memandangku dengan pandangan meminta-maaf, Serasa berkata : "aku sudah berusaha dengan segenap tenaga !" Aku menariknya, menyeret, bahkan menendangnya, keong terluka. Ia mengucurkan keringat, nafas tersengal-sengal, merangkak ke depan Sungguh aneh, mengapa Tuhan memintaku mengajak seekor keong berjalan-jalan.

Ya Tuhan! Mengapa ? Langit sunyi-senyap Biarkan saja keong merangkak didepan, aku kesal dibelakang.

Pelankan langkah, tenangkan hati....

Oh? Tiba-tiba tercium aroma bunga, ternyata ini adalah sebuah taman bunga. Aku rasakan hembusan sepoi angin, ternyata angin malam demikian lembut. Ada lagi! Aku dengar suara kicau burung, suara dengung cacing.

Aku lihat langit penuh bintang cemerlang. Oh? Mengapa dulu tidak rasakan semua ini ? Barulah aku teringat, Mungkin aku telah salah menduga!

Ternyata Tuhan meminta keong menuntunku jalan-jalan sehingga aku dapat mamahami dan merasakan keindahan taman ini yang tak pernah kualami kalo aku berjalan sendiri dengan cepatnya.

"He's here and with me for a reason"

Saat bertemu dengan orang yang benar-benar engkau kasihi, Haruslah berusaha memperoleh kesempatan untuk bersamanya seumur hidupmu. Karena ketika dia telah pergi, segalanya telah terlambat.

Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya. Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan.

Saat bertemu penolongmu, Ingat untuk bersyukur padanya. Karena ialah yang mengubah hidupmu

Saat bertemu orang yang pernah kau cintai, Ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih . Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang kasih.

Saat bertemu orang yang pernah kau benci, Sapalah dengan tersenyum. Karena ia membuatmu semakin teguh / kuat.

Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu, Baik-baiklah berbincanglah dengannya. Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami dunia ini.

Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai, Berkatilah dia. Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia ?

Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu, Berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu. Karena ia adalah bagian dari nostalgiamu

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu, Gunakan saat tersebut untuk menjelaskannaya. Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan.

Saat bertemu orang yang saat ini menemanimu seumur hidup, Berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu. Karena saat ini kalian mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati

God Bless You

Senin, 27 April 2009

Abang mau beli kue ?

Tanpa Judul.

Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke
Jakarta . Mengingat jalan tol yang juga padat, saya
menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk, saya singgah
sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan,
seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun
muncul di depan.


"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum.
Tangannya segera menyelak daun pisang yang menjadi
penutup bakul kue jajanannya. "Tidak Dik, Abang sudah
pesan makanan," jawab saya ringkas. dia berlalu.

Begitu pesanan tiba, saya langsung menikmatinya. Lebih
kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi
menghampiri pelanggan lain, sepasang suami istri
sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu
saja.

"Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?" tanyanya
tenang ketika menghampiri meja saya.

"Abang baru selesai makan Dik, masih kenyang nih,"
kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi
cuma di sekitar restoran. Sampai di situ dia
meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu
dia tanya, "Tak mau beli kue saya Bang, Pak... Kakak
atau Ibu." Molek budi
bahasanya.

Pemilik restoran itupun tak melarang dia keluar masuk
restorannya menemui pelanggan. Sambil memperhatikan,
terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat
betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampak keluh kesah
atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun
orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus
pergi ke mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh
di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu,
membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya
menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil.
Dia menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan kaca
jendela. Membalas senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang perlukan kue
saya untuk adik- adik, Ibu atau Ayah abang," katanya
sopan sekali sambil tersenyum.

Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan
menyelak daun pisang penutupnya.

Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja. Terpantul
perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet,
dan mengulurkan selembar uang Rp 20.000,- padanya.
"Ambil ini Dik! Abang sedekah... Tak usah Abang beli
kue itu." Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan
meningkat mendadak.
Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan
terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima
deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.

Setelah mesin mobil saya hidupkan. Saya memundurkan.
Alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu
mengulurkan Rp 20.000,- pemberian saya itu kepada
seorang pengemis yang buta kedua-dua matanya. Saya
terkejut, saya hentikan mobil, memanggil anak itu.
"Kenapa Bang, mau beli kue kah?" tanyanya.

"Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis
itu? Duit itu Abang berikan ke Adik!" kata saya tanpa
menjawab pertanyaannya.

"Bang, saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau
dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja
mencari nafkah karena Allah. Kalau dia tahu saya bawa
duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih
banyak, Mak pasti marah. Kata Mak mengemis kerja orang
yang tak
berupaya, saya masih kuat Bang!" katanya begitu
lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan
hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya
berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma
mengangguk. Lidah saya
kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja Bang...." Selepas
dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik,
saya ulurkan Rp 25.000,-. Dia mengucapkan terima
kasih
dan terus pergi. Saya perhatikan dia hingga
hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terpikir untuk bertanya
statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita berhati
mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang
saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasar
kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat
menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya
saya kagum dengan sikap anak itu. Dia menyadarkan
saya, siapa kita sebenarnya.

HUKUM TRUK SAMPAH

HUKUM TRUK SAMPAH


Suatu hari saya naik sebuah taksi menuju Bandara.

Kami melaju pada jalur yang benar ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam mendadak keluar dari tempat parkir tepat di depan kami. Supir taksi menginjak pedal rem dalam-dalam hingga ban mobil berdecit dan berhenti hanya beberapa sentimenter dari mobil itu. Pengemudi mobil hitam tadi mengeluarkan kepalanya dan menjerit ke arah kami mengeluarkan umpatan.

Supir taksi hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Saya benar-benar heran dengan sikap supir taksi yang bersahabat itu. Lalu saya bertanya kepadanya, "Mengapa sikap bapak seperti itu ? Tadi hampir saja terjadi tabrakan dan akibatnya dapat mengirimkan kita ke rumah sakit.” Saat itulah saya belajar dari supir taksi itu mengenai apa yang kemudian saya sebut sebagai "Hukum Truk Sampah". Supir taksi itu menjelaskan bahwa banyak orang seperti truk sampah. Mereka berjalan berkeliling membawa “sampah-sampah”.

Sampah yang dimaksud adalah frustrasi, kemarahan, kekecewaan dan kebencian. Seiring dengan berjalannya waktu, sampah-sampah tersebut makin menumpuk. Mereka membutuhkan tempat untuk membuangnya dan seringkali mereka membuangnya kepada anda. Jangan sakit hati, tersenyum saja, lambaikan tangan, dan doakan mereka, lalu lanjutkan hidup anda. Jangan pernah ambil “sampah-sampah” mereka untuk kembali membuangnya kepada orang lain yang anda temui di tempat kerja, di rumah atau dalam perjalanan.

Intinya adalah orang yang sukses adalah orang yang tidak membiarkan "truk sampah" mencuri hari-hari mereka dengan merusak suasana hati mereka. Hidup ini terlalu singkat untuk bangun di pagi hari dengan penyesalan, maka: Kasihilah orang yang memperlakukan anda dengan benar. Berdoalah bagi yang tidak. Hidup itu 10% mengenai apa yang kau buat dengannya dan 90% tentang bagaimana kau menghadapinya. Hidup itu bukan menunggu badai berlalu, tetapi bagaimana belajar menari dalam hujan.

Selamat menikmati hidup yang penuh berkat dan bebas dari “sampah”.

Senin, 13 Oktober 2008

The Cap Ride I'll Never Forget

The Cab Ride I'll Never Forget

Twenty years ago, I drove a cab for a living.

It was a cowboy's life, a life for someone who wanted no boss.

What I didn't realize was that it was also a ministry.

Because I drove the night shift, my cab became a moving confessional. Passengers climbed in, sat behind me in total anonymity, and told me about their lives. I encountered people whose lives amazed me, ennobled me, and made me laugh and weep.

But none touched me more than a woman I picked up late one August night. I was responding to a call from a small brick fourplex in a quiet part of town. I assumed I was being sent to pick up some partyers, or someone who had just had a fight with a lover, or a worker heading to an early shift at some factory for the industrial part of town.

When I arrived at 2:30 a.m., the building was dark except for a single light in a ground floor window.

Under these circumstances, many drivers would just honk once or twice, wait a minute, then drive away.

But I had seen too many impoverished people who depended on taxis as their only means of transportation.

Unless a situation smelled of danger, I always went to the door. This passenger might be someone who needs my assistance, I reasoned to myself.

So I walked to the door and knocked. "Just a minute", answered a frail, elderly voice. I could hear something being dragged across the floor.

After a long pause, the door opened. A small woman in her 80's stood before me. She was wearing a print dress and a pillbox hat with a veil pinned on it, like somebody out of a 1940s movie. By her side was a small nylon suitcase. The apartment looked as if no one had lived in it for years. All the furniture was covered with sheets. There were no clocks on the walls, no knickknacks or utensils on the counters. In the corner was a cardboard box filled with photos and glassware.

"Would you carry my bag out to the car?" she said. I took the suitcase to the cab, then returned to assist the woman. She took my arm and we walked slowly toward the curb. She kept thanking me for my kindness.

"It's nothing", I told her. "I just try to treat my passengers the way I would want my mother treated."

"Oh, you're such a good boy", she said. When we got in the cab, she gave me an address, then asked, "Could you drive through downtown?"

"It's not the shortest way," I answered quickly.

"Oh, I don't mind," she said. "I'm in no hurry. I'm on my way to a hospice."

I looked in the rear view mirror. Her eyes were glistening.

"I don't have any family left," she continued. "The doctor says I don't have very long."

I quietly reached over and shut off the meter. "What route would you like me to take?" I asked.

For the next two hours, we drove through the city. She showed me the building where she had once worked as an elevator operator. We drove through the neighborhood where she and her husband had lived when they were newlyweds She had me pull up in front of a furniture warehouse that had once been a ballroom where she had gone dancing as a girl. Sometimes she'd ask me to slow in front of a particular building or corner and would sit staring into the darkness, saying nothing.

As the first hint of sun was creasing the horizon, she suddenly said, "I'm tired. Let's go now."

We drove in silence to the address she had given me. It was a low building, like a small convalescent home, with a driveway that passed under a portico. Two orderlies came out to the cab as soon as we pulled up. They were solicitous and intent, watching her every move. They must have been expecting her. I opened the trunk and took the small suitcase to the door. The woman was already seated in a wheelchair.

"How much do I owe you?" she asked, reaching into her purse.

"Nothing," I said.

"You have to make a living," she answered.

"There are other passengers".

Almost without thinking, I bent and gave her a hug. She held onto me tightly.

"You gave an old woman a little moment of joy," she said. "Thank you."

I squeezed her hand, then walked into the dim morning light. Behind me, a door shut. It was the sound of the closing of a life.

I didn't pick up any more passengers that shift. I drove aimlessly, lost in thought. For the rest of that day, I could hardly talk. What if that woman had gotten an angry driver, or one who was impatient to end his shift? What if I had refused to take the run, or had honked once, then driven away?

On a quick review, I don't think that I have done anything more important in my life.

We're conditioned to think that our lives revolve around great moments. But great moments often catch us unaware - beautifully wrapped in what others may consider a small one.

Minggu, 05 Oktober 2008

Donat yang terlupakan

Tidak lama setelah PD II berakhir, Eropa berada dalam keadaan porak poranda, puing-puing berserakan dimana-mana. Mungkin pemandangan yang paling memprihatinkan adalah anak-anak yatim piatu yang kelaparan, berkeliaran di jalan-jalan raya yang luluh lantak oleh perang.

Pada suatu pagi yang dingin di London, seorang prajurit sedang dalam perjalanan kembali ke barak. Ketika dia menikung dengan mobil jibnya, dia melihat seorang anak laki-laki berumur 6 atau 7 thn, berdiri dengan hidungnya menempel pada jendela toko kue. Anak laki-laki yang kelaparan tersebut melihat dalam diam ketika pembuat kue menguleni adonan utk membuat sejumlah kue donat.

Prajurit itu kemudian menepikan mobil jibnya, beranjak keluar,dan berjalan pelan ke samping anak kecil itu. Melalui jendela yang beruap, dia memandang kue-kue yang lezat tersebut. Hati prajurit tersebut menjadi iba kepada anak kecil itu, maka dia bertanya "Nak, apakah kamu ingin makan kue-kue tersebut?" Terperanjat, anak kecil itu memandang ke atas, ke orang yang tinggi tersebut dan meringis, "Ya, Pak, aku mau!". Dengan tenang, prajurit itu msk ke toko kue, membeli selusin donat, dan keluar kembali ke udara kota london yang berkabut. Dia berhadapan dengan anak kecil tersebut, tersenyum dan mengulurkan kantong yang berisi donat-donat dan berkata, " Ini untukmu". Ketika dia berjalan kembali ke mobilnya, dia merasakan jasnya ditarik. Dia berhenti dan tersenyum balik pada anak itu, yang kemudian bertanya dengan pelan, "Tuan, apakah anda Tuhan?"

Tentu saja, prajurit itu bkn Tuhan, tetapi pastinya adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Dia seorang pemberi semangat, yang menunjukkan pada anak kecil bahwa masih ada kebaikan dan nurani di dunia ini. Aku percaya bahwa anak tersebut tidak akan pernah melupakan selusin donat itu, anak itu akan selalu berdoa utk prajurit tersebut, yang telah mengisi kekosongan dalam hidupnya.

Rabu, 03 September 2008

Perhitungan Kang Sastro

Perhitungan Kang Sastro
Seorang warga Indonesia berjalan memasuki sebuah Bank di New York guna mengajukan pinjaman. Dia menghampiri petugas bagian pinjaman, mengatakan bahwa dia harus pergi ke Jakarta untuk urusan bisnis selama dua minggu, dan memerlukan pinjaman dana sebesar $5.000.


Petugas bank menanggapi, bahwa pihak bank akan memerlukan jaminan atas pinjaman yang diajukan. Sang pria menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh bank dengan memberikan kunci mobil dan dokumen sebuah Ferrari Modena yang terparkir di depan bank. Dia memenuhi semua persyaratan, menunggu proses pengecekan dengan sabar, dan petugas bank menyetujui untuk memberikan pinjaman sesuai dengan jumlah yang diajukan.

Setelah sang pria Indonesia meninggalkan bank, Pihak manajemen bank dan pegawainya mentertawakan pria tersebut karena mempergunakan sebuah mobil Ferrari seharga $250,000 sebagai jaminan untuk meminjam uang sebesar $ 5,000. Lantas pegawai bank memarkir mobil mewah itu di area parkir bawah tanah bank tersebut.

Selang 2 minggu kemudian, sang lelaki kembali dari Jakarta dan datang ke bank, mengembalikan pinjaman dana sebesar $ 5,000 beserta bunganya sebesar $15.41.

Sang pegawai bank mengatakan:
"Mister Sastro, kami sangat gembira bisa melayani dan berbisnis dengan anda dengan lancar. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat kami sangat bertanya-tanya. Saat anda bepergian ke Jakarta, kami menyeldiki rekening anda di bank kami. Ternyata anda memiliki deposito jutaan dollar di rekening anda. Akan tetapi, kenapa anda masih memerlukan pinjaman untuk dana sebesar $ 5,000?"

Pak Sastro menjawab:
"Dimana lagi di kota New York saya bisa memarkir mobil saya selama 2 minggu dengan hanya membayar $ 15.41 dan mengharapkan mobil saya tidak dicuri saat saya kembali??"

Petugas bank: ...??##@


Ah...... Orang Indonesia ...

Berbanggalah menjadi bangsa yang cemerlang... !!
MERDEKA!!