Jumat, 01 Agustus 2008

Biography (Biografi) : Toko Buku Gunung Agung

Toko Gunung Agung: Akrobat Bisnis Seorang Anak Jalanan

Keberadaan Toko Gunung Agung hingga di usianya yang
ke-50 saat ini tidak lepas dari akrobat bisnis yang
dilakukan seorang bekas anak jalanan, Tjio Wie Tay
alias Haji Masagung.

Sejarah keberadaan Toko Gunung Agung yang 8 September
lalu genap berusia 50 tahun, tidak lepas dari
akrobat-akrobat bisnis yang dilakukan tokoh kuncinya,
Tjio Wie Tay alias Haji Masagung. Terlahir sebagai
anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan
An dan Tjoa Poppi Nio, Wie Tay sebenarnya bisa
menikmati masa kecil yang indah. Ayahnya seorang ahli
listrik tamatan Belanda, sedangkan kakek seorang
pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Tapi
kebahagiaan itu tidak dikecapi terlalu lama, karena
kala dia berusia empat tahun, sang ayah meninggal
dunia. Sejak saat itu kehidupan ekonomi mereka menjadi
sangat sulit.

Dalam buku Bapak Saya Pejuang Buku yang ditulis
putranya, Ketut Masagung dan disusun kembali oleh Rita
Sri Hastuti dikisahkan bahwa Wie Tay tumbuh sebagai
anak nakal yang suka berkelahi. Ia juga punya
kebiasaan "suka mencuri" buku-buku pelajaran
kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna
mendapatkan uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak
bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai
ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda.

Justru karena kenakalannya, Wie Tay tumbuh sebagai
anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa
saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu
mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, ia
mendapatkan satu sepeda. Modal "berani" ini yang
kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan
tidak bisa dipungkiri, menjadi salah satu senjata
andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.

Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali
ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan
kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibundanya belum
membaik jua. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus
mencari duit sendiri. Awalnya, ia kembali ke
"kebiasaan" lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk
dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku
pelajaran habis, ia mencoba menjadi "manusia karet di
panggung pertunjukkan" senam dan aerobatik. Tapi
penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.

Pedagang Asongan

Ia kemudian banting setir menjadi pedagang rokok
keliling. Di sinilah sifat beraninya mulai terlihat.
Wie Tay yang digambarkan sebagai anak yang banyak
kudis di kepala dan borok di kaki ini nekat menemui
Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu.
Dengan modal 50 sen, ia memulai usaha menjual rokok
keliling di daerah Senen dan Glodok. Di sini ia mulai
rajin menabung, karena sudah merasakan betapa susah
mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan
sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok.
Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut
dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai
akhirnya ia mampu membuka kios di Senen.

Menjadi pedagang rokok keliling membuka mata Wie Tay
remaja bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie
Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Maka, setelah membuka
kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi.
Selanjutnya, Wie Tay juga berkenalan dengan The Kie
Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah
satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian
akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Suatu hari, The
Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan
pemasaran.

Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya
tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih
sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju.
Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan
besar. Ternyata benar! Sayang buntutnya tidak enak.
The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena
dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke
pihak luar yang bukan distributor.

Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan
usaha bersama bernama Tay San Kongsie, tahun 1945. Di
sinilah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia
bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tapi
melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat
bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku.
Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual
buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar.
Buku-buku ternyata laku keras. Mereka berjualan di
lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay
San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter
persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi.
Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar,
mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan
berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis
menulis.

Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka
dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie.
Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (6/15%), The Kie
Hoat (4/15%) dan Wie Tay (5/15%). Masagung ditunjuk
memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko
di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak
meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah
orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku
bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.

Membangun Toko Gunung Agung

Pada 13 Mei 1951, Wie Tay menikahi Hian Nio. Setelah
menikah, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha
menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya
untuk menambah modal. Lie Tay San keberatan. Dia
memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di
lapangan Kramat Bunder, (kini Toko Buku Kramat
Bundar). Sementara Masagung alias Tjio Wie Tay bersama
The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No
13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo.
Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku,
toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay
membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta.
Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak saat itu
Kwitang menjadi ramai.

Cukup lama Tjio Wie Tay mencari nama untuk toko
barunya. Kemudian baru muncul ide untuk menerjemahkan
namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie
Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau
Gunung Gede tapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung
Agung. Toko buku mereka berkembang pesat. Pesanan dari
luar Jakarta berdatangan, tidak hanya buku tapi juga
kertas stensil, kertas tik dan tinta. Melihat
perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha
dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain
kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan
senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah
saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku
yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku
sastra tulisan tangan para "orang dalam" tersebut.
Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.

Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat
gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8
September 1953. Dengan modal Rp 500 ribu, mereka
berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini
yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko
Gunung Agung -yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay
sendiri. Menggelar pameran buku, seolah menjadi "trade
mark" bentuk promosi yang dilakukan Gunung Agung.
Tahun 1954, Wie Tay mengadakan lagi pameran buku
tingkat nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia 1954.
Pada acara inilah Wie Tay bertemu dan berkenalan
dengan dua tokoh nasional yang sangat dikaguminya,
yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi dia, pertemuan
dengan Bung Karno adalah hal yang menakjubkan. Selain
sebagai presiden, Bung Karno adalah tokoh yang sangat
dikaguminya sejak dia masih kecil.

Peran Bung Karno

Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan
kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung
dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan Pameran
Buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia
pada tahun yang sama. Dari sana dilanjutkan dengan
pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955.
Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah
menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura.
Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah
gedung megah berlantai tiga di Jln Kwitang 6. Acara
ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan
peresmian gedung tersebut dihadiri langsung Bung
Karno. Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963,
Wie Tay berganti nama menjadi Masagung.

Kalau padanya ditanyakan tokoh siapa yang paling
berpengaruh dalam bisnis penerbitan dan toko buku,
maka Masagung pasti akan menyebut nama Bung Karno. Ia
pun selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya.
"Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan
penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan
bangsa, jadi jangan ditinggalkan, " ujar Bung Karno.
Seraya memeluk Masagung, Bung Karno menyerahkan
kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan
memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera
Revolusi (dua jilid), Biografi Bung Karno tulisan
wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung
Karno (lima jilid), serta sejumlah buku tentang Bung
Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah
yang membawa Gunung Agung menanjak.

Bantuan Bung Karno tidak berhenti di situ. Bung Karno
juga meminta Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi
masyarakat Irian Barat saat Trikora. Masagung lalu
kemudian mengadakan pesta buku di Biak, Marauke,
Serui, Fak Fak, Sorong, dan Manokwari. Tugas yang sama
kembali diemban untuk masyarakat Riau dalam rangka
Dwikora. Bukan cuma di Indonesia. Masagung juga
agresif membangun jaringan di luar negeri. Tahun 1965,
dia membuka cabang Gunung Agung di Tokyo, Jepang. Lalu
mengadakan pameran buku Indonesia di Malaysia awal
1970-an.

Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas
toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain
. Ia tercatat mengelola bisnis ritel bekerjasama
dengan Departement Store Sarinah di Jln MH Thamrin,
lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan
perhotelan . Itulah akrobat bisnis yang dilakukan
seorang "mantan" anak jalanan. Si anak nakal yang
tidak tamat SD itu ternyata mampu mem-bangun kerajaan
bisnis yang kokoh hingga kini .

Tidak ada komentar: